MANUSIA MENURUT AL-QUR’AN DAN ILMUWAN
Nenek Moyang Makhluk Hidup
SEPANJANG sejarah manusia
modern muncul perdebatan sengit di seputar asal usulkehidupan makhluk di muka
Bumi. Semua itu muncul dari naluri kemanusiaan kita sendiri.
Adalah
wajar jika kita ingin tahu siapakah sebenarnya nenek moyang kita ini
Ada dua
kelompok besar dalam hal ini. Yang pertama adalah kelompok agamawan.Sedangkan
yang kedua adalah kelompok ilmuwan. Pada masing-masing kelompok besar itumasih
terbagi dalam beberapa kelompok juga yang berbeda-beda pendapat tentang
asal-usul sejarah
manusia.
Pada umumnya,
kelompok agamawan berpendapat bahwa makhluk hidup, khususnyamanusia adalah
diciptakan oleh Tuhan. Semua agama berpendapat sama tentang hal ini.Islam.
Sedangkan para ilmuwan – khususnya sebelum abad 20 – berpendapat
bahwa
makhluk hidup muncul di muka Bumi karena faktor alamiah.
Dari sinilah
munculnya perdebatan sengit itu. Terutama antara agamawan kristen denganpara
ilmuwan. Meskipun, pada akhirnya pihak gereja mengakui bahwa manusia agaknya
memiliki
keturunan yang sama dengan nenek moyang kera.
Hal itu
dikemukakan oleh Paus Johanes Paulus II dalam pidatonya, 22 oktober 1996.
Bahwa,
antara manusia modern dengan kera purba terdapat ‘diskontinuitas ontologis’. Yaitu
ketika
Tuhan meniupkan ruh kepada sosok makhluk yang semula keturunan hewan. Maka
sejak
itulah sosok yang tadinya belum manusia itu menjadi manusia.
Istilah kunci yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada
pengertian manusia menggunakan kata-kata basyar, al-insan, dan an-nas.
Kata
basyar disebut dalam Al-Qur’an 27 kali. Kata basyar menunjuk pada pengertian
manusia sebagai makhluk biologis (QS Ali ‘Imran [3]:47) tegasnya memberi
pengertian kepada sifat biologis manusia, seperti makan, minum, hubungan
seksual dan lain-lain.
Kata
al-insan dituturkan sampai 65 kali dalamAl-Qur’an yang dapat dikelompokkan
dalam tiga kategori. Pertama al-insan dihubungkan dengan khalifah sebagai
penanggung
amanah (QS Al-Ahzab [3]:72), kedua al-insan dihubungankan dengan predisposisi
negatif dalam diri manusia misalnya sifat keluh kesah, kikir (QS Al-Ma’arij
[70]:19-21) dan ketiga al-insan dihubungkan dengan proses penciptaannya yang
terdiri dari unsur materi dan nonmateri (QS Al-Hijr [15]:28-29). Semua konteks
al-insan ini menunjuk pada sifat-sifat manusia psikologis dan spiritual.
Kata
an-nas yang disebut sebanyak 240 dalam Al-Qur’an mengacu kepada manusia sebagai
makhluk sosial dengan karateristik tertentu misalnya mereka mengaku beriman
padahal sebenarnya tidak (QS Al-Baqarah [2]:8)[1]
Dari
uraian ketiga makna untuk manusia tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia
adalah mahkluk biologis, psikologis dan sosial. Ketiganya harus dikembangkan
dan diperhatikan hak maupun kewajibannya secara seimbang dan selalu berada dalam
hukum-hukum yang berlaku (sunnatullah).[2]
Al-Qur’an
memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai
manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai
cikal bakal manusia, yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan,
mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari surga, tidak bisa dijadikan
argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran
justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju
suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia
harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan
di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk
spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif).
Karena
itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan
indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian
semulia itu. Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik
benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses
pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan
yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup
manusia selalu dihadapkan pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu
sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu
menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia
berkualitas mutaqqin di atas.
Gambaran
al-Qur’an tentang kualitas dan hakikat manusia di atas megingatkan kita pada
teori superego yang dikemukakan oleh sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa
kenamaan yang pendapatnya banyak dijadika rujukan tatkala orang berbicara tentang
kualitas jiwa manusia.
Menurut
Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai tenaga
pendorong yang sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga penyaluran
dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu buruk) tidak mudah menempuh jalan melalui
superego (nafsu muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah)
berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia. Sebaliknya,
superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala
instink, intuisi, dan intelegensi –ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang
beragama– bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa memberikan
pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego yang liar
dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan
hakikat manusia itu sendiri.
Ilmu
pengetahuan modern, khususnya penelitian biomolekuler, mengarah pada kemajuan
yang
luar biasa. Banyak hal yang tadinya tersimpan rapat, kini mulai terkuak. Banyak
pihak yang
kini optimis bahwa penelitian bidang biomolekuler akan memberikan arah baru
dalam peradaban manusia di abad-abad mendatang. Terutama dalam bidang
kedokteran & palaentologi,
yang pada akhirnya mengakui kebenaran informasi yang disampaikan dalam
Al-qur’an.
Tujuan Penciptaan Manusia
Kata
“Abdi” berasal dari kata bahasa Arab yang artinya “memperhambakan diri”,
ibadah (mengabdi/memperhambakan diri). Manusia diciptakan oleh Allah agar ia
beribadah kepada-Nya. Pengertian ibadah di sini tidak sesempit pengertian
ibadah yang dianut oleh masyarakat pada umumnya, yakni kalimat syahadat,
shalat, puasa, zakat, dan haji tetapi seluas pengertian yang dikandung oleh
kata memperhambakan dirinya sebagai hamba Allah. Berbuat sesuai dengan
kehendak dan kesukaann (ridha) Nya dan menjauhi apa yang menjadi
larangan-Nya.Sebagaimana yang Allah jelaskan dalam Surah Ad Dzariyat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا
لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Fungsi dan Kedudukan Manusia
Sebagai orang yang beriman kepada Allah, segala pernyataan
yang keluar dari mulut tentunya dapat tersingkap dengan jelas dan lugas lewat
kitab suci Al-Qur’an sebagai satu kitab yang abadi. Dia menjelaskan bahwa Allah
menjadikan manusia itu agar ia menjadi khalifah (pemimpin) di atas bumi ini dan
kedudukan ini sudah tampak jelas pada diri Adam (QS Al-An’am [6]:165 dan QS
Al-Baqarah [2]:30) di sisi Allah menganugerahkan kepada manusia segala yang ada
dibumi, semula itu untuk kepentingan manusia (ia menciptakan untukmu seluruh
apa yang ada dibumi ini. QS Al-Baqarah [2]:29). Maka sebagai tanggung jawab
kekhalifahan dan tugas utama umat manusia sebagai makhluk Allah, ia harus
selalu menghambakan dirinya kepada Allah Swt.
Untuk mempertahankan posisi manusia tersebut, Tuhan
menjadikan alam ini lebih rendah martabatnya daripada manusia. Oleh
karena itu, manusia diarahkan Tuhan agar tidak tunduk kepada alam, gejala alam
(QS Al-Jatsiah [45]:13) melainkan hanya tunduk kepada-Nya saja sebagai hamba
Allah (QS Al-Dzariyat [51]:56). Manusia harus menaklukanya, dengan kata lain
manusia harus membebaskan dirinya dari mensakralkan atau menuhankan alam.
Jadi dari uraian tersebut diatas bisa ditarik kesimpulan
secara singkat bahwa manusia hakikatnya adalah makhluk biologis, psikolsogi dan
sosial yang memiliki dua predikat statusnya dihadapan Allah sebagai Hamba Allah
(QS Al-Dzarait [51]:56) dan fungsinya didunia sebagai khalifah Allah (QS
Al-Baqarah [2]:30); al-An’am [6]:165), mengantur alam dan mengelolanya untuk
mencapai kesejahteraan kehidupan manusia itu sendiri dalam masyarakat dengan
tetap tunduk dan patuh kepada sunnatullah.
Potensi manusia
Allah S.W.T. memberikan potensi kepada manusia dengan
beberapa potensi :
1. Akal
Dengan Potensi Akal
manusia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, meyusun
konsep-konsep dalam kehidupan sehingga dapat menjalankan peran dirinya sebagai
Khalifah.
2. Ruh
Dengan Ruh manusia bisa
melaksanakan aktifitas kehidupan, meskipun manusia kesulitan mendiskripsikan
makna Ruh, karena urusan Ruh adalah otoritas Allah
3. Qalbu
Potensi Qalbu lebih
berorientasi kepada rasa yang tercermin dalam Iman, yang akan menumbuhkan rasa
takut, harapan, cinta, kasih sayang. Dari Qalbu ini akan mempengaruhi sikap dan
prilaku manusia.
4.
Fitrah
Manusia semenjak
dilahirkan ke dunia memiliki Fitrah yang merupakan bawaan yang diberikan Allah
S.W.T. kepada setiap manusia. Fitrah manusia pada asalnya adalah ber Tauhid,
namun pada proses perkembangannya terjadi kontaminasi sehingga ada yang
kemudian menjadi kufur.
5.
Nafs
Pada hakekatnya Nafs pada diri manusia akan selalu
mengarahkan kepada perbuatan yang baik, namun pengaruh yang ada pada diri
seseorang yang kemudian mempengaruhi manusia.
Peran Manusia
Manusia
dengan segenap potensi dan kelebihan-kelebihan harus bertanggung jawab dan
menyadari perannya. Tugas/amanah yang dibebankan sebagai refleksi atas potensi
dan kelebihan-kelebihan yang telah diterimanya itu tetapi tidak semua manusia
bersedia menerima amanah ini dan sebagian menolaknya.
Pertama, Sebagai seorang Hamba,
yang mengekpresikan ketundukan dan kepatuhannya untuk beribadah kepada Allah.
Dan ungkapan ini terus dibangun ketika serang muslim melaksanakan shalat dengan
pernyataan “ إياك
نعبد “ Hanya kepadaMulah kami beribadah
Kedua, Khilafah
Bagi yang menyadari potensi-potensi yang telah diberikan dan
beribadah kepada Allah (berislam) maka status khilafah disandangnya. Khilafah
bukan berarti pemilik asal, tetapi ia hanya bertindak selaku pemelihara alam
yang Allah telah ciptakan. Maka mendayagunakan alam dan menjalankan fungsi
kekhilafahan harus selaras dengan kehendak Sang Pemilik Alam dan tidak
menentangNya.
§ Menjadikan kewajiban,
bersikap amanah, memperoleh kedudukan khilafah (QS. 24 : 55, 48 : 29)
§ Makna khilafah bukan
berarti pemilik asal, tetapi hanya pemelihara (QS. 35 : 13, 40 : 24-25, 53)
§ Mendayagunakan alam dan
menjalankan fungsi kekhilafahan harus selaras dengan kehendak Sang Pemilik Alam
(QS. 76 : 30, 26 : 68)
§ Tidak menentang terhadap
aturanNya (QS. 100 : 6-11)
AGAMA DAN AGAMA ISLAM
Agama berasal
dari kata “a” dan “gama”, “a” artinya tidak dan “gama” berarti kacau, jadi agama artinya tidak kacau. Kata agama dalam bahasa Indonesia
berarti sama dengan “din” dalam bahasa Arab dan Semit, atau dalam bahasa
Inggris “religion”. Dari arti bahasa (etimologi) agama berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun temurun.
Sedangkan kata “din” menyandang arti antara lain menguasai, memudahkan, patuh, utang,
balasan atau kebiasaan.
Secara
istilah (terminologi) agama, seperti ditulis oleh Anshari bahwa walaupun agama,
din, religion, masing-masing mempunyai arti etimologi sendiri-sendiri,
mempunyai riwayat dan sejarahnya sendiri-sendiri, namun dalam pengertian teknis
terminologis ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu:
a. Agama, din, religion
adalah satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya Yang
Maha Mutlak diluar diri manusia;
b. Agama juga adalah
sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya Maha Mutlak
tersebut.
c.
Di samping merupakan satu sistema credo dan satu sistema
ritus, agama juga adalah satu sistem norma (tata kaidah atau tata aturan) yang
mengatur hubungan manusia sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam
lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaktub
diatas.
Menurut
Durkheim Durkheim: agama merupakan sebuah sistem kepercayaan dan ritual yang
berkaitan dengan yang suci (the sacred). Bagi Spencer, agama adalah kepercayaan
terhadap sesuatu yang Maha Mutlak. Sementara Dewey, menyatakan bahwa agama
adalah pencarian manusia terhadap cita-cita umum dan abadi meskipun dihadapkan
pada tantangan yang dapat mengancam jiwanya; agama adalah pengenalan manusia
terhadap kekuatan gaib yang hebat. Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers: agama
harus (1) monoteistik, (2) mempunyai kitab, (3) mempunyai nabi, dan (4)
mempunyai komunitas internasional.
Agama dalam bahasa Arab dikenal istilah “Addin” yang memiliki arti
kepatuhan, kekuasaan atau kecenderungan.
Sebuah agama pada dasarnya mempunyai tiga
aspek, yaitu :
1. Keyakinan
adanya suatu kekuatan supranatural yang mengatur dan
menciptakan alam dan isinya.
2. Peribadatan
yang merupakan tingkah laku manusia dalam berhubungan
dengan kekuatan supranatural sebagai konsekuensi atas pengakuannya.
3. Sistem
nilai yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya, manusia dan alam semesta.
Ditinjau dari sumbernya, agama yang
dikenal manusia terdiri dari dua macam, yaitu
sebagai berikut :
1. Agama
Wahyu, yaitu agama yang diterima manusia
dari Allah swt melalui malaikat Jibril dan disebarkan oleh Rasul-Nya kepada manusia. Agama wahyu disebut
pula sebagai agama samawi atau agama langit, contohnya adalah agama Islam. Ciri Utama
Agama Wahyu adalah bersumber dari Tuhan, dalam hal ini Allah S,W,T, yang
kemudian diwahyukan kepada RasulNya dengan pedoman Kitab Suci yang menjadi
Panduan.
2. Agama
Budaya, yaitu agama yang bersumber dari
ajaran manusia yang dipandang mempunyai pengetahuan yang
mendalam tentang kehidupan. Agama budaya disebut
pula sebagai agama ardhi atau agama bumi. Contohnya agama
Budha yang merupakan ajaran Budha Gautama.
Islam berasal dari kata “salima” artinya selamat
sejahtera dan “aslama” artinya patuh dan taat, sehingga dapat disimpulkan bahwa agama
Islam adalah agama yang diwahyukan
langsung oleh Allah swt kepada para Rasul-Nya yang berisi
petunjuk dan larangan untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Sebagaimana dalam firman Allahswt surat Al Imron/3 : 19 sebagai berikut :
إِنَّ
الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ
بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“ Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah
hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di
antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Ciri Utama
Agama Wahyu adalah bersumber dari Tuhan, dalam hal ini Allah S,W,T, yang
kemudian diwahyukan kepada RasulNya dengan pedoman Kitab Suci yang menjadi
Panduan
Fungsi Agama
1. Sumber pedoman hidup
bagi individu maupun kelompok
2. Mengatur tata cara
hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
3. Merupakan tuntutan
tentang prinsip benar atau salah
4. Pedoman mengungkapkan
rasa kebersamaan
5. Pedoman perasaan
keyakinan
6. Pedoman keberadaan
7. Pengungkapan estetika
(keindahan)
8. Pedoman rekreasi dan
hiburan
9.
Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu
agama.
Adapun karakteristik Agama
Pada umumnya adalah sebagai berikut:
a. Agama adalah suatu sistem tauhid atau sistem ketuhanan (keyakinan)
terhadap eksistensi suatu yang absolute (mutlak), diluar diri manusia yang
merupakan pangkal pertama dari segala sesuatu termasuk dunia dengan segala
isinya.
b. Agama merupakan sistem ritual atau peribadatan
(penyembahan) dari manusia kepada suatu yang absolut.
c. Agama adalah suatu sistem nilai atau norma (kaidah)
yang menjadi pola hubungan manusiawi antara sesama manusia dan pola hubungan
dengan ciptaan lainnya dari yang absolut.
Ciri-ciri Agama
Wahyu antara lain :
a. Mengakui eksistensi Allah swt dengan
kebenaran yang mutlak dari Allah swt.
b. Diturunkan dari langit dengan perantaraan
malaikat Jibril kepada rasul-rasul Allah swt.
c. Penyampaian wahyu Allah swt itu kepada para
Nabi dengan ditentukan waktu
kelahirannya.
d. Memiliki kitab suci yang diwariskan rasul
Allah swt dengan isinya yang tetap yang
dikodifikasikan dalam Taurat,
Injil dan Al Qur`an.
e. Konsep ketuhanannya serba Esa-Tuhan yang
murni.
f. Kebenaran prinsip-prinsip ajaran agama itu
dapat bertahan kepada kritik akal manusia
mengenai eksistensi dan kebenaran alam gaib akal dapat
menerimanya.
g. Ajarannya tidak berubah sepanjang zaman
(universal) meskipun zaman terus
berkembang, bahkan cocok dalam situasi
apapun dan dimanapun.
Ciri-ciri Agama Bumi antara lain :
a. Tidak mengakui eksistensi wahyu Allah swt
sebagai kebenaran yang mutlak.
b. Tidak diturunkan dari langit, berarti tidak
mengenal malaikat.
c. Tidak disampaikan oleh rasul Allah swt.
d. Tidak memiliki kitab suci yang diwariskan
oleh Nabi.
e. Konsep ketuhanannya bukan serba Esa-Tuhan.
f. Kebenaran prinsip ajaran agama tidak
bertahan terhadap kritik akal manusia mengenai
alam gaib tak termakan oleh akal manusia, dan mengenai alam nyata
terbukti kekeliruan ilmunya.
g.
Terjadi perubahan mental dan sosial dari masyarakat penganutnya
Perlunya Manusia Terhadap Agama
Sekurang-kurangnnya
ada tiga alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Ketiga
alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Latar belakang Fitra
manusia
Kenyataan
manusia memiliki fitrah keagamaan pertama kali ditegaskan dalam ajaran Islam,
yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia. Sebelumnya, manusia belum
mengenal kenyataan ini. Baru di masa akhir-akhir ini, muncul beberapa orang
yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri
manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama. Dalam Surat
al-Rum, 30: 30
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu”
Adanya perjanjian manusia dengan Allah yang telah diikat
oleh fitrah mereka. Kenyataan manusia memiliki fitrah keagamaan tersebut
diatas, buat pertama kalinya ditegaskan dalam ajaran Islam Yakni bahwa agama
adalah kebutuhan fitrah manusia.
Informasi
mengenai potensi beragama dimiliki manusia itu dapat dijumpai pada ayat
al-Qur'an (surat al-A'raf ayat 172)
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Berdasarkan
informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri merupakan
makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan
petunjuk nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bawha setiap anak yang
dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.
2. Kelemahan dan
kekurangan manusia
Faktor
lain yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena di samping
manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara
lain diungkapkan oleh kata an-nafs. Dalam pandangan al-qur’an, nafs diciptakan
Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong
manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia
inilah yang oleh al-qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.
Seperti yang tertera dalam al-qur’an surat Al-Syams ayat 7-8:
َ فَأَلْهَمَهَا
فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا وَنَفْسٍ وَمَا
سَوَّاهَا
”dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams, 91:7-8)
Menurut Ulama Tafsir bahwa kata mengilhamkan berarti potensi
agar manusia melalui nafs menangkap makna baik dan buruk, serta dapat
mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Tetapi kata nafs dalam
pandangan kaum sufi merupakan sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan periaku
buruk. Pengertian kaum sufi tentang nafs ini sama dengan yag terdapat
dalam Kamus Besar Bahasa Indoneisa yang antara lain menjelaskan bahwa nafs
adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik. Untuk menjaga kesucian
nafs ini manusia harus selalu mendekatkan diri pada Tuhan dengan bimbingan
agama, dan di sinilah letaknya kebutuhan manusia terhadap agama.
3. Tantangan manusia
Faktor
lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam
kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari
dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu
dan bisikan setan, sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan
upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin
memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga,
dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang
di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan. Tantangan dari dalam
dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan. Lihat Surat Al-Isra’ ayat
53.
وَقُلْ
لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ
بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا
Artinya: Dan katakanlah
kepada hamba-hamba-Ku: " Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih
baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.
Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia
Sementara
tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan
manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dati Tuhan.
Seperti yang tertera dalam al-qur’an surat Al-anfal ayat 36:
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّه
Artinnya: “Sesungguhnya orang-orang
yang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan
Allah.”
Untuk
itu, upaya mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajar mereka agar
taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu, saat ini
semakin meningkat, sehinga upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting
KONSEP KETUHANAN
Merumuskan
konsep Tuhan menjadi ajang perdebatan yang tiada henti dan terus
dipermasalahkan baik di kalangan
umat Islam khususnya maupun umat beragama lain
umumnya. Siapakah dan bagaimanakah Tuhan? Dimanakah Tuhan
berada dan sampai kapankah kekuasaan Tuhan? Kesemuanya terus dipertanyakan oleh
manusia sebagai makhluk tak berdaya yang memerlukan eksistensi Tuhan sebagai tempat berdoa
dan memohon segala sesuatu.
Dalam agama primitif dikenal berbagai
macam istilah untuk melambangkan Tuhan.
Dinamisme percaya kepada kekuatan ghaib yang misterius
yang berpengaruh pada kehidupan manusia. Animisme mengajarkan bahwa tiap-tiap benda yang bernyawa
maupun tidak memiliki kekuatan atau memiliki roh. Dalam paham politeisme,
manusia percaya terhadap dewa-dewa dengan tugas-tugas tertentu. Kemudian dalam aliran
henoteisme mengakui satu Tuhan untuk satu bangsa, sehingga masing-masing bangsa mempunyai
Tuhan sendiri-sendiri. Henoteisme mengandung paham Tuhan nasional. Paham ini dapat
dilihat pada agama Yahudi
yang akhirnya mengakui Yahweh
sebagai Tuhan nasional mereka.
Setelah masa primitif berlalu, agama yang
dianut adalah monoteisme, dengan ajaran
Tuhan tunggal, Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan mendasar
monoteisme dengan henoteisme adalah bahwa dalam agama henoteisme Tuhan bersifat nasional,
sedangkan dalam agama monoteisme Tuhan bersifat internasional. Tujuan hidup dalam agama
monoteisme adalah mencari keselamatan material dan spiritual. Perbedaan paling
prinsip adalah dalam agama primitif manusia berusaha membujuk kekuatan supernatural untuk
mengikuti kemauan manusia, sedangkan dalam monoteisme manusia mengikuti kemauan
Tuhan. Disinilah Islam mengambil posisi sebagai agama monoteisme.
Tentang Tuhan, dalam agama Islam dikenal
konsep tauhid. Tauhid berasal dari bahasa
Arab yaitu wahada yang berarti menunggalkan, mengesakan,
yaitu sebuah konsep yang harus diyakini bahwa Tuhan umat Islam (Allah swt) adalah Esa. Konsep
Tauhid dalam Islam sudah dimulai sejak zaman Nabi Adam, tetapi kemudian menyimpang yang
pada akhirnya diperkuat ketauhidannya oleh Nabi Ibrahim, maka Nabi Ibrahimlah yang selalu
disebut sebagai “Bapak
Tauhid”.
Konsep tauhid
umat Islam telah dicantumkan dalam Firman Allah Al Quran surat Al-
Ikhlas/112 : 1-4 yang secara totalitas membicarakan
keesaan Allah swt :
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada pula
diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia".
Secara keseluruhan ayat ini membicarakan
mengenai ke-Esa-an Allah swt, Allah SWT
adalah tempat bergantung dan berlindung, Allah swt tidak
dilahirkan dan tidak pulamelahirkan. Allah swt adalah pencipta alam semesta dan
seisinya. Maka berarti sesungguhnyadari ketergantungan manusia sebagai
makhluk-Nya. Sesuatu yang bergantung tidak dapat dibayangkan bila terlepas dari
tempat ketergantungannya. Dari sinilah kemudian muncul term “syirik” yang berarti ganda
atau menyekutukan, artinya perbuatan yang menganggap bahwa
ada dzat yang Maha Agung selain Allah swt, terlebih lagi
dalam status perbuatan menuhankanNya. Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa
ide ketuhanan dalam Islam adalah yang paling sempurna. Intinya bagi umat Islam, Allah SWT adalah
Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya.
RUANG LINGKUP AJARAN
AGAMA ISLAM
Secara garis
besar ruang lingkup ajaran agama Islam mencakup ajaran yang menyeluruh
(total/kaffah) yang terdiri dari akidah, syariah dan
akhlak, seperti yang tertuang dalam Firman Allah surat Al Baqarah/2 : 208 yaitu
:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“ Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Akidah adalah kepercayaan terhadap Allah swt dan inti akidah
adalah Tauhid. Tauhid adalah ajaran tentang eksistensi Allah swt yang bersifat
Esa yang terangkum dalam Rukun Iman. Lawan dari tauhid adalah syirik
(mempersekutukan Allah swt).
Syariah adalah bentuk peribadatan baik yang khusus (Ibadah Mahdlah) yang
meliputi thaharah, sholat, puasa, zakat dan haji maupun
yang bersifat umum ( Ibadah Ghairu Mahdlah/muamalah)
seperti hukum perdata kaitannya dengan jual-beli, sewa
menyewa dll maupun hukum pidana berkaitan dengan hokum orang yang berzina,
hukum bagi yang mencuri dll.
Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
dan menimbulkan perbuatan yang mudah tanpa memerlukan
pertimbangan pikiran, akhlak merupakan produk jiwa yang tauhid. Akhlaq juga mencakup Akhlaq
dengan Allah dan Rasul, Akhlaq Pribadi dan Keluarga maupun akhlaq bermasyarakat
dan bernegara.
Ajaran Islam adalah ajaran yang Universal mencakup semua aspek
kehidupan, sehingga tidak ada satu bahagianpun dalam kehidupan manusia yang
tidak diatur oleh Islam, mulai dari persoalan prbadi, persoalan keluarga,
persoalan masyarakat bahkan sampai persoalan yang mencakup pengelolaan Negara
diatur oleh Islam seperti pemikiran sekularisme.
Maka ketika ada yang berusaha memisahkan Islam dari kehidupan
sosial , memisahkan Islam dari kehidupan politik, memisahkan Islam dari
persoalan hukum, memisahkan Islam dari persoalan ekonomi dsb menunjukkan bahwa
yang bersangkutan belum memahami Islam secara benar, karena Islam sebagai
ajaran Universal dimana nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencakup semua
persoalan kehidupan.
METODE MEMPELAJARI ISLAM
1.
Islam
harus dipelajari dari sumbernya yang asli, supaya tidak mengalami kekeliruan
2. Islam harus dipelajari secara
keseluruhan sebagai satu kesatuan yang bulat dan tidak terpisahkan satu sama
lain
3.
Islam
harus dipelajari dari kepustakaan, ulama-ulama besar dan sarjana-sarjana muslim
yang memahami Islam secara baik, Islam dipelajari dari
karya atau kepustakaan yang ditulis oleh mereka yang telah mengkaji dan
memahami islam secara baik dan benar.Dihubungkan dengan berbagai persoalan
asasi yang dihadapi manusia dalam masyarakat dan di lihat relasi serta
relevansinya dengan persoalan politik, ekonomi, social, budaya sepanjang
sejarah manusia terutama sejarah umat islam.
SALAH
PAHAM TERHADAP ISLAM
1.
Kesalahan
sementara orang yang mempelajari tentang Islam adalah berasal dari kenyataan umat Islam bukan pada ajaran
Islam yang dipelajari. Yang mana umat Islam mengalami banyak kemunduran;
tertinggal, kolot, bodoh, miskin, dan lain-lain
2.
Salah Memahami Ruang Lingkup Agama Islam Salah paham terhadap Islam terjadi karena orang
salah memahami ruang lingkup Agama Islam. Lambang yang sama yakni perkataan
agama dipakai untuk system ajaran yang berbeda, yang menimbulkan salah paham
terhadap Islam.
3.
Kesalahpahaman ini timbul karena penggambaran
bagian-bagian agama dan ajaran agama tidak menyeluruh, tetapi
sebagian-sebagian. Misalnya Islam hanya ajaran akhlak, tasawuf, dan tarikat
semata-mata, tanpa memandang dan meletakkan bagian-bagian atau segmen-segmen
itu kedalam kerangka agama dan ajaran agama Islam terpadu secara keseluruhan.
4. Metode yang salah di dalam mempelajari Islam,
seperti : Metode atau jalan yang ditempuh oleh para orientalis adalah
pendekatan yang menjadikan Islam dan seluruh ajarannya semata-mata sebagai
objek studi dan analisis. Artinya, menggunakan metode dan menganalisis tidak
sesuai dengan ajaran Islam.
Agar
bisa memahami Islam dengan benar dan terhindar dari salah faham terhadap Islam,
diperlukan kajian yang terus menerus dan berkesinambungan dengan nara sumber
yang memiliki pemahan yang benar agar terhindar dari berbagai kesalahan,
sebagaimana yang saat ini terjadi dengan Aliran Islam Liberal, Islam Nusantara,
Feminisme, Pruralisme, Dimas Kanjeng, Gafatar, Syi’ah yang jauh dari pemahaman
yang sahi.
Dosen Pengampu : Bapak Dr. Nur Hidayat,M.Ag
Tidak ada komentar:
Posting Komentar