-Ijma’ adalah kesepakatan para mujahid dari umat Islam atas hukum syara’ (mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi Muhammad SAW wafat.
-Pengertian lain dari Ijma’ sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, yaitu: “Kesepakatan seluruh mujahid dari kalangan kaum muslimin dalam salah satu kurun dari kurun-kurun yang banyak sesudah wafat Rasulullah SAW terhadap suatu peristiwa hukum syara’.
-Ijma' merupakan sumber yang kuat dan salah satu metode pengembangan Ijtihad untuk meneruskan dan menetapkan hukum-hukum Islam. Jika sudah terjadi kemufakatan atas suatu hukum, maka sudah barang tentu ada dalil (alasan) yang menjadi sandarannya, sebab tidak masuk akal kalau para ulama umat Islam bersepakat atas sesuatu hukum tanpa mempunyai dalil syara'.
Alasan menempatkan ijma’ sebagai dasar hukum setelah
al-Qur'an dan Sunnah juga dikuatkan oleh beberapa sahabat Nabi Muhammmad SAW diantaranya sebagaimana di sampaikan Umar
ibn al-Khattab kepada Syuraih.
"Putuskanlah
(perkara
itu)
menurut
hukum
yang ada
dalam
Kitab
Allah. kalau
tidak
ada
(dalam
al-Qur'an), maka
putuskanlah
sesuai
hukum
yang ada
dalam
Sunnah
Rasulullah
SAW. Kalau
tidak
ada
(dalam
Sunnah
Rasulullah
SAW), putuskanlah
berdasarkan
hukum
yang telah
disepakati
oleh
(ummat)
manusia”. Dalam riwayat
lain;
"Putuskanlah
menurut
hukum
yang telah
ditetapkan
orang-orang shaleh”
Objek Ijma' ialah semua peristiwa
atau kejadian
yang tidak ditemukan
dasarnya
dalam
al-Qur'an dan Sunnah atau peristiwa
atau kejadian
yang berhubungan
dengan ibadah ghairu mahdah (ibadah yang tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT), bidang mu'amalah,
bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
Ijma' ditinjau dari cara terjadinya,
1.Ijma'
Bayani
(disebut
juga
dengan
sebutan
ljma' Qauli, Ijma' Sharih atau ljma' haqiqi); yaitu
kemufakatan
yang dinyatakan
atau
diucapkan
oleh
mujtahidin,
termasuk
dalam
kategori
ini
tulisan
mujtahidin
yang diakui
oleh
para
mujtahidin
lainnya
2.ljma' Sukuti disebut
juga
dengan
Ijmu' itibari, yaitu
kebulatan
yang dianggap
ada
apabila
seseorang
mujtahid
mengeluarkan
pendapatnya
dan
diketahui
oleh
mujtahid
lainnya,
akan
tetapi
mereka
tidak
menyatakan
persetujuan
atau
bantahannya.
Adapun kriteria
Ijma' menurut
sebagian
ulama
ushul
adalah
:
(a) Kesepakatan
sekelompok
fuqaha/ulama;
(b)
Pada kurun waktu tertentu; dan
(c) Di ruang
lingkup
suatu
wilayah
atau
kawasan
tertentu
pula.
Dengan penjelasan
diatas,
maka
sebenarnya
Ijma' sangat
efektif
untuk:
(a) Menjadi
asas
Itjihad
Jama'i (Ijtihad
kolektif);
(b) Melandasi
penemuan
serta
pengembangan
hukum
kontekstual
menurut
kondisi
ruang
dan
waktu.
Dari sini
lebih
jelas
tampak
bahwa
hukum
Islam memiliki
sifat
kelenturan
(elastisitas
dan
fleksibelitas)
Qiyas (Analogi)
Qiyas
secara
etimologi
berarti
"ukuran", "mengetaui
ukuran sesuatu",
"membandingkan"
atau
menyamakan
sesuatu
dengan
yang lain.
Adapun pengertian
Qiyas secara
terminologis,
menurut
Hanafi,
Qiyas
ialah
"mempersamakan hukum suatu perkara yang belum ada ketentuan hukumnya dengan perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi persamaan alam antara keduanya yang disebut illat.“
Dan menurut
Abdul Wahaf
Khallaf
, Qiyas ialah
"menyamakan
suatu masalah
yang tidak terdapat
ketentuan
hukumnya dalam nash
(al-Qur'an dan al-sunah) dengan masalah
yang telah ada persamaan
illat
hukumnya."
Rukun Qiya
1.Ahad (pokok),
yaitu
masalah
yang menjadi
ukuran
atau
tempat
menyerupakan.
2.Far'u (cabang),
yaitu
masalah
atau
peristiwa
yang tidak
ada
nash-nya Far'u itulah
yang hendak
untuk
disamakan
hukumnya dengan
ashl.
3.Hukum ashl, yaitu
hukum
syara' yang
ditetapkan
oleh
suatu
nash.
Dalam
hal
diatas
ialah
hukum
haram.
4.Illat, yaitu
suatu
sifat
yang terdapat
pada
ashl. Illat menurut
ahli
ushul
fiqh
ialah
"mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nasnya dengan hukum yang sudah ada nasnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya.
Dosen Pengampu : Siti Nur Syamsiah Komariah
M..I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar